Bekerja(lah) yang Halal Juga Barokah
Pada sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan oleh penerbit buku islam tempat saya bekerja, seorang pembicara mengatakan kepada peserta bahwa pemilik penerbit buku tersebut hampir menginfaqkan seluruh penghasilan usahanya kepada jihad fisabililah (Jihad sosial). Hanya sebagian kecil ia gunakan untuk keluarganya. Sontak, saya merasa terharu mendengar kata-kata tersebut. Rasa bangga dan dan syukur pun menghinggapi perasaan saya. Sebab, saya bekerja pada sebuah perusahaan yang tidak berorientasi pada kepentingan profit atau pun bersifat kapitalis (untuk kekayaan pribadi), melainkan bekerja pada tujuan amal. Lihat saja, meski beromset ratusan juta bahkan mencapai angka miliyar dalam setahun, sang pemilik hanya menempati rumah yang ukurannya lebih kecil dari rumah kontrakan yang saya tempati saat ini. Ditambah, penerbit buku tempat saya bekerja tidak berorientasi pasar. Kami masih tetap menjaga idealisme produk-produk yang dikeluarkan demi memberikan kemanfaatan dan kebaikan bagi pembacanya.
Masih sulitnya untuk bisa hidup dari usaha yang dibangun sendiri, menuntut saya harus mencari pekerjaan. Berbagai lamaran pekerjaan pun harus dilakukan meski dengan setengah hati. Ya, setengah hati, dikarenakan prinsip saya yang tidak menyukai bekerja pada perusahaan yang kerja keras kita hanya menguntungkan sang pemilik. Di gaji sedikit, tetapi hasil keuntungan atas hasil usaha kita mereka yang makan. Agak sedikit berbeda bila bekerja pada BUMN atau PNS, sebab pekerjaan itu dapat menjadi motivasi sebagai amal untuk negara. Harus diakui, untuk bisa diterima di BUMN maupun PNS sangat susah. Selain karena banyaknya pesaing, kapasitas saya untuk diterima sebagai pegawainya masih kurang, terlihat dari tes-tesnya yang selalu gagal, :D. Alhamdulillah, doa saya dijawab agar bisa mendapatkan pekerjaan yang halal juga barokah dengan ditakdirkan bekerja di penerbit buku islam itu.
Hampir sebagian besar sarjana di negeri ini harus menggadaikan idealismenya (khususnya para aktivis Islam) demi sesuap nasi. Banyak pekerjaan yang secara terpaksa diterimanya tanpa memperhatikan keberkahan pekerjaannya, bisa juga kehalalannya. Beberapa teman saya yang dahulu pernah bersama-sama berjuang dalam dakwah kampus pun akhirnya harus bekerja pada bank konvensional yang mengandung unsur riba (bunga bank). Entah karena memang terpaksa atau memiliki pandangan lain, namun bagi saya bekerja pada institusi yang masih bermain riba (yang diharamkan di dalam Al Qur’an) merupakan pekerjaan yang harus dihindari. Ilmu pengetahuan secara empiris sudah membuktikan kerusakan yang timbul akibat ekonomi riba tersebut. Maka, meski berpandangan sebagai pekerjaan yang halal, kebarokahan pekerjaan tersebut masih dipertanyakan.
Ingat, bukan saja hanya kehalalan pekerjaan, namun bagaimana kebarokahannnya. Atau bisa di istilahkan halal tetapi juga toyyib. Kebarokahan suatu pekerjaan dapat dinilai dari besarnya manfaat yang diberikan oleh perusahaan kepada konsumennya. Jika bekerja pada perusahaan seperti pembuat minuman keras atau rokok barang kali, jelas tidak ada nilai kebarokahan di situ (malah tidak halal). Dikarenakan produk yang dibuatnya hanya membuat kerusakan bagi tubuh si konsumen.
Lalu, bagaimana menilai perusahaan tempat kita bekerja barokah atau tidak? Perlu dilihat, apakah produk yang dihasilkan di perusahaan tempat kita bekerja dapat memberikan manfaat yang baik atau justru menimbulkan kerusakan. Memang penilaiannya ini sangat subyektif. Dan tergantung pada idealisme atau pemahaman agamanya (bukan berati pemahaman agama saya bagus, namun hidup dalam kebaikan yang ingin terus saya cari, dengan belajar dari realitas).
Contohnya saja, ketika bekerja di industri kendaraan bermotor. Memang, produk yang dihasilkan dapat memberikan maanfaat kepada pembeli. Namun disatu sisi, paham kapitalisme yang merasuk pada pebisnis kendaraan bermotor menciptakan persaingan untuk berlomba-lomba menjual produknya sebanyak mungkin. Bahkan mampu menipu konsumen dengan iklan-iklan yang berlebihan. Sehingga berdampak pada kemacetan lalu-lintas. Tidak hanya itu, polusi udara membengkak, alam pun terganggu oleh ulah para pebisnis kendaraan bermotor ini. Maka, bisakah kita menilai bekerja pada industri kendaran bermotor dinilai sebagai pekerjaan yang halal namun tidak barokah? Memang agak sedikit dilema untuk menjawabnya. Dan ini kembali kepada individu masing-masing karena sifatnya yang subyektif dan tergantung pada idealisme yang dimiliki.
Tidak sekedar menilai dari sisi manfaat, namun orientasi dari perusahaan tempat kita bekerja pun bisa menjadi penilaian. Perusahaan yang sangat dan sangat berorientasi kapitalis, atau mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk sang pemilik, justru sangat berdampat signifikan pada ketidakbarokahan suatu pekerjaan. Sebab, orientasi tersebut sangat berkorelasi dengan timbulnya perilaku buruk terhadap unsur pekerjaan. Mereka yang bekerja pada institusi yang sangat kapitalis bisa dimungkinkan dalam menciptakan produknya tidak memperhatikan maanfaat atau dapat berdampak buruk pada konsumen. Karena yang penting income-nya besar dengan berbagai cara (entah halal atau tidak).
Kalau begitu bukankah yang salah hanya pemimpin atau pemilik perusahaan saja? Tidak. Semuan unsur yang ada di dalam sebuah perusahaan saling bersatu dalam menjalankan roda perusahaan, meski hanya sebagai cleaning service. Maka, jika seorang karyawan bekerja pada perusahaan yang membuat produk yang haram (atau tidak barokah) tetap saja pekerjaan tersebut dapat dinilai haram. Selain kerjanya ikut berkontribusi terhadap perkembangan usaha perusahan, ia juga akan mendapat gaji dari hasil keuntungan produk haram tersebut.
Dari ketidakhalalan atau ketidakbarokahan pekerjaan kita itulah akan berdampak pada perilaku kita. Saya sangat meyakini apabila penghasilan untuk konsumsi sehari-hari dari hasil gaji yang kita makan sangat mempengaruhi perilaku kita. Bahkan perilaku anak-anak kita nanti. Semakin tidak halalnya pendapatan yang dimakan, semakin memberikan efek keburukan perilaku yang memakannya. Meski secara ilmiah belum bisa membuktikan penyataan saya itu, namun secara empiris terlihat bagaimana kerusakan seseorang, sebuah keluarga dan kebobrokan seorang anak dilihat dari perilaku orang tuannya. Perilaku orang tua bisa dimungkinkan dari cara ia mendapat penghasilan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya (meski ada juga faktor lain). Semakin kita menjaga kehalalan makanan dan penghasilan, akan berkorelasi positif terhadap usaha kita untuk menjaga perilaku dari sikap-sikap amoral masyarakat.
Perlulah kiranya kita sebagai individu memperhatikan kehalalan makanan kita mulai dari cara berpenghasilan sebagai upaya merubah dari diri kita, keluarga dan anak-anak kita nanti. Sebab, kondisi kerusakan sosial yang terjadi saat ini turut disumbangkan oleh rakyatnya yang masih belum memperhatikan kebarokahan penghasilannya. Sehingga menimbulkan perilaku amoral yang merusak tataran sosial masyarakat.
Perubahan sosial harus dimulai dari diri kita sendiri. Kemudian perbaiki keluarga kita mulai dari perbaikan cara memberi makannya (konsumsinya) agar berperilaku yang baik pula. Dengan begitu, mulai dari kebaikan-kebaikan yang dilakukan keluarga insya Allah dapat mempengaruhi kebaikan-kebaikan masyarakat.
Sebagai akhir, jangan lupa untuk terus berdoa atau memasukan doa hari-hari kita untuk menjaga rezeki dari keharaman dan ketidakbarokahan. Kalau kita merasa pekerjaan kita saat ini tidak barokah, insya Allah doa-doa tersebut akan terjawab tanpa terduga (pengalaman saya, Insya Allah).
Pada sebuah acara bedah buku yang diselenggarakan oleh penerbit buku islam tempat saya bekerja, seorang pembicara mengatakan kepada peserta bahwa pemilik penerbit buku tersebut hampir menginfaqkan seluruh penghasilan usahanya kepada jihad fisabililah (Jihad sosial). Hanya sebagian kecil ia gunakan untuk keluarganya. Sontak, saya merasa terharu mendengar kata-kata tersebut. Rasa bangga dan dan syukur pun menghinggapi perasaan saya. Sebab, saya bekerja pada sebuah perusahaan yang tidak berorientasi pada kepentingan profit atau pun bersifat kapitalis (untuk kekayaan pribadi), melainkan bekerja pada tujuan amal. Lihat saja, meski beromset ratusan juta bahkan mencapai angka miliyar dalam setahun, sang pemilik hanya menempati rumah yang ukurannya lebih kecil dari rumah kontrakan yang saya tempati saat ini. Ditambah, penerbit buku tempat saya bekerja tidak berorientasi pasar. Kami masih tetap menjaga idealisme produk-produk yang dikeluarkan demi memberikan kemanfaatan dan kebaikan bagi pembacanya.
Masih sulitnya untuk bisa hidup dari usaha yang dibangun sendiri, menuntut saya harus mencari pekerjaan. Berbagai lamaran pekerjaan pun harus dilakukan meski dengan setengah hati. Ya, setengah hati, dikarenakan prinsip saya yang tidak menyukai bekerja pada perusahaan yang kerja keras kita hanya menguntungkan sang pemilik. Di gaji sedikit, tetapi hasil keuntungan atas hasil usaha kita mereka yang makan. Agak sedikit berbeda bila bekerja pada BUMN atau PNS, sebab pekerjaan itu dapat menjadi motivasi sebagai amal untuk negara. Harus diakui, untuk bisa diterima di BUMN maupun PNS sangat susah. Selain karena banyaknya pesaing, kapasitas saya untuk diterima sebagai pegawainya masih kurang, terlihat dari tes-tesnya yang selalu gagal, :D. Alhamdulillah, doa saya dijawab agar bisa mendapatkan pekerjaan yang halal juga barokah dengan ditakdirkan bekerja di penerbit buku islam itu.
Hampir sebagian besar sarjana di negeri ini harus menggadaikan idealismenya (khususnya para aktivis Islam) demi sesuap nasi. Banyak pekerjaan yang secara terpaksa diterimanya tanpa memperhatikan keberkahan pekerjaannya, bisa juga kehalalannya. Beberapa teman saya yang dahulu pernah bersama-sama berjuang dalam dakwah kampus pun akhirnya harus bekerja pada bank konvensional yang mengandung unsur riba (bunga bank). Entah karena memang terpaksa atau memiliki pandangan lain, namun bagi saya bekerja pada institusi yang masih bermain riba (yang diharamkan di dalam Al Qur’an) merupakan pekerjaan yang harus dihindari. Ilmu pengetahuan secara empiris sudah membuktikan kerusakan yang timbul akibat ekonomi riba tersebut. Maka, meski berpandangan sebagai pekerjaan yang halal, kebarokahan pekerjaan tersebut masih dipertanyakan.
Ingat, bukan saja hanya kehalalan pekerjaan, namun bagaimana kebarokahannnya. Atau bisa di istilahkan halal tetapi juga toyyib. Kebarokahan suatu pekerjaan dapat dinilai dari besarnya manfaat yang diberikan oleh perusahaan kepada konsumennya. Jika bekerja pada perusahaan seperti pembuat minuman keras atau rokok barang kali, jelas tidak ada nilai kebarokahan di situ (malah tidak halal). Dikarenakan produk yang dibuatnya hanya membuat kerusakan bagi tubuh si konsumen.
Lalu, bagaimana menilai perusahaan tempat kita bekerja barokah atau tidak? Perlu dilihat, apakah produk yang dihasilkan di perusahaan tempat kita bekerja dapat memberikan manfaat yang baik atau justru menimbulkan kerusakan. Memang penilaiannya ini sangat subyektif. Dan tergantung pada idealisme atau pemahaman agamanya (bukan berati pemahaman agama saya bagus, namun hidup dalam kebaikan yang ingin terus saya cari, dengan belajar dari realitas).
Contohnya saja, ketika bekerja di industri kendaraan bermotor. Memang, produk yang dihasilkan dapat memberikan maanfaat kepada pembeli. Namun disatu sisi, paham kapitalisme yang merasuk pada pebisnis kendaraan bermotor menciptakan persaingan untuk berlomba-lomba menjual produknya sebanyak mungkin. Bahkan mampu menipu konsumen dengan iklan-iklan yang berlebihan. Sehingga berdampak pada kemacetan lalu-lintas. Tidak hanya itu, polusi udara membengkak, alam pun terganggu oleh ulah para pebisnis kendaraan bermotor ini. Maka, bisakah kita menilai bekerja pada industri kendaran bermotor dinilai sebagai pekerjaan yang halal namun tidak barokah? Memang agak sedikit dilema untuk menjawabnya. Dan ini kembali kepada individu masing-masing karena sifatnya yang subyektif dan tergantung pada idealisme yang dimiliki.
Tidak sekedar menilai dari sisi manfaat, namun orientasi dari perusahaan tempat kita bekerja pun bisa menjadi penilaian. Perusahaan yang sangat dan sangat berorientasi kapitalis, atau mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk sang pemilik, justru sangat berdampat signifikan pada ketidakbarokahan suatu pekerjaan. Sebab, orientasi tersebut sangat berkorelasi dengan timbulnya perilaku buruk terhadap unsur pekerjaan. Mereka yang bekerja pada institusi yang sangat kapitalis bisa dimungkinkan dalam menciptakan produknya tidak memperhatikan maanfaat atau dapat berdampak buruk pada konsumen. Karena yang penting income-nya besar dengan berbagai cara (entah halal atau tidak).
Kalau begitu bukankah yang salah hanya pemimpin atau pemilik perusahaan saja? Tidak. Semuan unsur yang ada di dalam sebuah perusahaan saling bersatu dalam menjalankan roda perusahaan, meski hanya sebagai cleaning service. Maka, jika seorang karyawan bekerja pada perusahaan yang membuat produk yang haram (atau tidak barokah) tetap saja pekerjaan tersebut dapat dinilai haram. Selain kerjanya ikut berkontribusi terhadap perkembangan usaha perusahan, ia juga akan mendapat gaji dari hasil keuntungan produk haram tersebut.
Dari ketidakhalalan atau ketidakbarokahan pekerjaan kita itulah akan berdampak pada perilaku kita. Saya sangat meyakini apabila penghasilan untuk konsumsi sehari-hari dari hasil gaji yang kita makan sangat mempengaruhi perilaku kita. Bahkan perilaku anak-anak kita nanti. Semakin tidak halalnya pendapatan yang dimakan, semakin memberikan efek keburukan perilaku yang memakannya. Meski secara ilmiah belum bisa membuktikan penyataan saya itu, namun secara empiris terlihat bagaimana kerusakan seseorang, sebuah keluarga dan kebobrokan seorang anak dilihat dari perilaku orang tuannya. Perilaku orang tua bisa dimungkinkan dari cara ia mendapat penghasilan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya (meski ada juga faktor lain). Semakin kita menjaga kehalalan makanan dan penghasilan, akan berkorelasi positif terhadap usaha kita untuk menjaga perilaku dari sikap-sikap amoral masyarakat.
Perlulah kiranya kita sebagai individu memperhatikan kehalalan makanan kita mulai dari cara berpenghasilan sebagai upaya merubah dari diri kita, keluarga dan anak-anak kita nanti. Sebab, kondisi kerusakan sosial yang terjadi saat ini turut disumbangkan oleh rakyatnya yang masih belum memperhatikan kebarokahan penghasilannya. Sehingga menimbulkan perilaku amoral yang merusak tataran sosial masyarakat.
Perubahan sosial harus dimulai dari diri kita sendiri. Kemudian perbaiki keluarga kita mulai dari perbaikan cara memberi makannya (konsumsinya) agar berperilaku yang baik pula. Dengan begitu, mulai dari kebaikan-kebaikan yang dilakukan keluarga insya Allah dapat mempengaruhi kebaikan-kebaikan masyarakat.
Sebagai akhir, jangan lupa untuk terus berdoa atau memasukan doa hari-hari kita untuk menjaga rezeki dari keharaman dan ketidakbarokahan. Kalau kita merasa pekerjaan kita saat ini tidak barokah, insya Allah doa-doa tersebut akan terjawab tanpa terduga (pengalaman saya, Insya Allah).
0 komentar:
Posting Komentar